Saturday, April 19, 2008

Ajarkan Kami Kesetiaan Ayah


Sumber: Auladi (edisi 29)

Jika ada seorang bawahan ayah amat-amat setia pada ayah, hingga sang ayah pun 'tidak habis pikir' atas kesetiaannya itu. Kesetiaan bawahan itu terlampau amat mengagumkan, amat mengharukan, telah teruji tidak goyah oleh waktu, materi, dan berbagai kendala. Bawahannya itupun terus saja menjalankan kesetiaannya dengan diawasi atau tidak diawasi, diminta atau tidak diminta.

Kalau memang ada bawahan ayah yang demikian. apa yang akan ayah balas dari dia? Pastilah ayah akan berpikir keras untuk membalas kesetiaannya itu dan tidak menyia-nyiakan pengorbanannya. Ya. Orang yang setia, dia pasti banyak berkorban.

Dan yang terjadi berikutnya adalah...ayah akan amat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan ayah ini, bukan? Bahkan lebih dari itu, jika ayah mampu, ayah ingin memberi dia kejutan! Mencari tahu tentang apa yang baginya nyaris tidak mungkin ia capai dengan kemampuannya sendiri, untuk kemudian ayah hadiahkan padanya. Apakah sandang, pangan, papan, atau menunaikan ibadah ke tanah suci. Apapun, pastinya ayah ingin membalas kesetiaan itu dengan sesuatu yang lebih dari ukuran biasanya. Betul begitu kan, ayah?

Berangkat dari ilustrasi di atas, maukah ayah membaca dua hal berikut ini dengan hati?
'Sang panas dari apinya', 'Sang sejuk dari airnya'. Apa itu, ayah?

Ya soal bawahan yang setia itu tadi lho, ayah. Selama ini, dalam pendidikan di rumah-rumah kita, soal kesetiaan tidak menempati urutan tinggi kan, yah? Hal yang paling dijaga dan didorong untuk dilaksanakan seluruh anggota keluarga adalah KETAATAN. Shalat lima waktu, puasa, tarawih, zakat, dan seterusnya. Padahal, ada yang lebih hebat dan utama daripada T-A-A-T yaitu S-E-T-I-A.

Mengapa? Karena setia itu berarti taat plus. Di dalam kesetiaan ada dimensi ruhani yang paling dapat dirasakan baik oleh yang setia dan yang disetiakan. Seperti benang-benang halus yang diikat dalam jalinan, berulang dan berulang terus menerus sehingga menjadi tali sangat kuat. Kesetiaan itu tidak dapat didustai atau mendustai. Kalai ada dusta, berarti tidak setia atau khianat namanya.

Ibarat jalinan benang, putus satu saja akan membuat kendur dan bahkan akan membuat seluruh jalinan itu terlepas. Kesetiaan bisa gugur.
Kesetiaan menuntut disiplin tinggi, kemampuan mengelola hawa nafsu dengan cerdas, kemauan kuat untuk siap berkorban dan didorong oleh motivasi keikhlasan yang tak terlawan.

Seseorang bisa taat pada peraturan, ketika peraturan itu ada di sisinya. Saat itu ia sudah boleh disebut taat. Tetapi, bagi seorang yang memiliki hati yang setia, bahkan jika peraturan itu pun tidak ada, ia bahkan akan membuat peraturan itu diadakannya sendiri, dijalankan sendiri, walau tidak diminta. Karena demikian itu 'panas dari api' atau 'sejuk dari air'. Sifat yang bersenyawa, yang tanpa sifat itu bukanlah dia. Bukan api jika tanpa panas namanya, bukan?
Jadi intinya, setia itu mengungguli taat. Lebih dari luar biasa itu, ayah!

Nah sekarang, mari kita tengok sejenak apa yang biasa kita lakukan di rumah tangga kita selama ini? Sudahkan ayah ikut mendorong anak-anak dan keluarga mencoba menyosialisasikan kesetiaan ini? Agar shalat, puasa, tarawih, zakat yang dilakukan keluarga kita tidak semata menjadi ketaatan saja.

Jika mau...ya ayah harus berubah. Dari ayah yang berubah, nanti anak-anak akan ikut berubah juga. Insya Allah ayah yang akan paling bangga di akhirat nanti kalau ada dari anak cucu ayah, Allah SWT kumpulkan dan Allah SWT banggakan karena "kesetian mereka pada KU mengungguli para malaikatKU" kata Allah SWT. Tahu kan ya ayah...makaikat amat setia pada Allah SWT? Tapi kan malaikat tidak diberi nafsu. Jadi, jika kita manusia yang dikaruniakan hawa nafsu dapat mengelolanya...pastilah derajat kita akan lebih tinggi dari malaikat.

Maka, ayah...semoga dimasa yang akan datang, ayah lebih mampu mengelola hawa nafsu ayah. Tidak mudah marah, itu sudah pasti. Makan sederhana dan jelaskan ayah sedang mencoba, bukan hanya ingin menjadi 'bawahan' yang taat tapi karena ingin menjadi hamba yang setia.

Kalau ada kesempatan untuk berkorban, ya ayah duluan. Juga dalam hal disiplin...ayah tunjukkan ayah melakukannya tanpa beban. Dan semua itu ayah lakukan dengan ilmu. Bunyi haditsnya Al ikhlas ayakuna alal ilmi. Jadi semua tindakan ritual maupun muammalat yang dilakukan dengan ilmu, itu ikhlas.

Dengunglan terus kata "Ayah belajar setia pada Allah SWT...". Ayah pasti selalu lebih mampu menggali ini lebih baik dari kami semua. Iya kan, Ayah?

Oleh: Neno Warisman

No comments: